Jumat, 28 Maret 2014

pernikahan dini dan single parent


Tugas kepro
Dosen : Aisyah,SKM

NIKAH DINI & SINGEL PARENT

Oleh :
Kelompok IV
Kelas IA
Faramita                    Hasrida
Musfira dewi            Rilawati
Sri wahyuni              Hardianti.k
Aulia sahnas            Nurhayati
Nurul ayunita           A.Dwi rusmawati

AKADEMI KEBIDANAN SYEKH YUSUF-GOWA
T.A 2013



KATA PENGANTAR

assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan NYA mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni nabi muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang PENIKAHAN DINI & SINGEL PARENT, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “pernikahan dini & single parent” yang banyak di temui di kalangan masyarakat.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya yang bersifat membangun.

14-02-2013

            Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang

Perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk  keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan No 1 Thahun 1974)
Pernikahan dini merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia belakangan ini. Ini sudah seperti bagian dari budaya masyarakatnya sendiri. Menjadi agak sulit untuk dilepaskan karena itu sudah menjadi semacam bagian dari kebiasaan masyarakat Indonesia, terlebih mereka yang terbiasa dengan hal tersebut.
Seperti hendak memasuki jenjang pendidikan tertentu, seseorang memiliki batas usia minimal untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Untuk anak perempuan, batas minimal diperbolehkan menikah adalah ketika menginjak usia 16 tahun, kecuali orang-orang zaman dahulu yang rata-rata menikah pada usia 12 tahun. Meskipun sudah matang dan diperbolehkan untuk menikah, rasanya menikah diusia 16 tahun masih rentan terhadap resiko yang akan terjadi pada fisik dan psikisnya.
Sementara itu, untuk laki-laki, batas minimal usia menikah adalah 19 tahun. Di luar batas minimal itu, seseorang dilarang untuk menikah, terutama di mata hukum negara. Jika seseorang akan melangsungkan pernikahan di bawah usia tersebut, surat izin dari kedua orang tua mutlak diperlukan, supaya pernikahan dini bisa diminimalisir.

B.   Rumusan masalah
a)    Apa itu perkawinan. ?
b)    Apa yang harus di lakuka untuk mencegah pernikahan dini. ?
c)    Apa dampak dari pernikahan dini ?
d)    Factor apa yang melandasi pernikahan dini ?
e)    Hukum pernikahan dini ?
f)     Pandangan islam tentang pernikah dini ?
g)    Apa itu single parent ?
h)   Apa Penyebab Orang Tua Tunggal ?
i)     Apa Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi ?
j)      Masalah orang tua tunggal
k)    Penaggulangan orang tua tunggal
l)     Hal apal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent
m)  Dampak Single Parent Bagi Perkembangan Anak
n)     Ciri Keluarga Single Parent yang Berhasil
o)    Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single Parent
p)    Penanganan Single Parent

C.   Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah
a.    Mengetahui pernikahan dini
b.    mengetahuiUpaya pencegahan pernikahan dini
c.    mengetahui dampak dari pernikahan dini
d.    mengetahui factor pernikahan dini
e.    hukum pernikahan dini
f.     pandangan islam tentang pernikahan dini
g.    mengetahui apa itu single parent dan penyebabnya
h.    dampak single parent bagi wanita termasuk reproduksi
i.      dampah single parent bagi anak
j.      ciri keluarga single paret yang berhasil
k.    memperluas wawasan mahasiswa tentanf pernikakhan dini dan single parent

D.   Manfaat

a.    Mengetahui apa itu pernikahan dini
b.    mengetahuiUpaya pencegahan pernikahan dini
c.    mengetahui dampak dari pernikahan dini
d.    mengetahui factor pernikahan dini
e.    hukum pernikahan dini
f.     pandangan islam tentang pernikahan dini
g.    mengetahui apa itu single parent dan penyebabnya
h.    dampak single parent bagi wanita termasuk reproduksi
i.      dampah single parent bagi anak
j.      ciri keluarga single paret yang berhasil


BAB II
PEMBAHASAN

A.   PERNIKAHAN DINI

Perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk  keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan No 1 Thahun 1974)
Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut penawaran Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya berjudul Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak terkendali, ketika seks pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah, tidak peduli apakah dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun perguruan tinggi.
Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu sekolah? Dan masih banyaksederetpertanyaanlainnya.
Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul. Hal ini terbaca jelas dalam senetron “Pernikahan Dini” yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh sinetron tersebut.

1.    Pernikahan Dini dalam Perspektif  Psikologi
Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya “Children Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untukmengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.
Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri psikologi humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya, menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan ibid).
Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan “kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.
Adapun urgensi pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bias dibantah. Takut rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90% mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan lagi. Pergaulan bebas atau free sex sama sekali bukan nama yang asing di telinga kaum remaja, saat ini. Kita akan menyaksikan kehancuran yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan para gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar nikah. Untuk menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya satu jawabnya: nikah.

2.        Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama

Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia limabelas tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv,
“perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad dan Abu Dawud).
Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan sebuah isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, Sembilan belas Abad yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang shalihah.
Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.”

1.    Upaya menyikapi atau mencegah terjadinya pernikahan dini

Pernikahan dini merupakan fenomena social yang sering terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini biasa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan anak di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan Aisyah r.a. Selain itu, peraturan perundang – undangan yang belaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi pihak – pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.
Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang – undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi – sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar  mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak. 

Penanganan Perkawinan Usia Muda
a.        Pendewasaan usia kehamilan dengan penggunaan kontrasepsi sehingga kehamilan pada waktu usia reproduksi sehat.
b.        Bimbingan psikologis. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pasangan dalam menghadapi persoalan-persoalan agar mempunyai cara pandang dengan pertimbangan kedewasaan, tidak mengedepankan emosi.
c.        Dukungan keluarga. Peran keluarga sangat banyak membantu keluarga muda baik dukungan berupa material maupun non material untuk kelanggengan keluarga, sehingga lebih tahan terhadap hambatan­hambatan yang ada.
d.        Peningkatan kesehatan dengan peningkatan pengetahuan kesehatan, perbaikan gizi bagi istri yang mengalami kurang gizi.

2.    Dampak Pernikahan Dini (perkawinan di bawah umur)

Dalam sebuah dialog antar remaja psikolog yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun radio swasta di Jakarta beberapa waktu lalu, seorang remaja laki-laki usia 19 tahun bercerita kepada penyiarnya : “Saya terpaksa menikah karena terlanjur melakukan hubungan intim hingga pacar saya hamil.” Lalu, “Apa yang terjadi setelah menikah?” tanya sang penyiar tadi. “Dunia berubah 180 derajat Dari bangun sembarangan harus berangkat pagi untuk bekerja. Belum lagi, siang malam anak saya menangis, hingga kami tidak bisa tidur barang sekejap pun.”

Dari cerita ini bisa tergambar bagaimana sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan usia dini sering berbuntut perceraian. Mampukah remaja itu bertahan?
Ambil contoh pernikahan pasangan artis Wulan Guritno dengan Attila Syah. Keduanya menikah pada usia di bawah 20 tahun. Pada tahun-tahun pertama meski sudah memiliki anak, keduanya mencoba terus bertahan dan menampilkan sosok pasangan cukup bahagia. Namun pertahanan itu jebol juga. Perceraian tak dapat ditolak, pertengkaran pun masih berbuntut panjang meski hakim telah memberikan surat bukti cerai.
            Ada apa dengan cinta? Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini atau menikah dalam usia muda, menurut Edi Nur Hasmi, psikolog yang juga Direktur Remaja dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, memiliki dua dampak cukup berat. “Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 – 30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil.”
            Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, ungkap Edi, boleh di bilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 – 24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya.
            “Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk belajar tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, pisah rumah, bahkan bisa mengalami depresi berat,” jelasnya.
            Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
            “Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal,” jelas psikolog yang rajin meneliti kehidupan remaja melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang dibina BKKBN.
“Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.”
            Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena “kecelakaan”, kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.
            Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan merupakan pertemuan dua pribadi berbeda. Kalau keduanya bisa saling merubah, itu hanya akan terjadi kalau dua-duanya sama-sama dewasa. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernikahan usia remaja. Pada tahap awal, mungkin wanitanya bisa berubah, tapi laki-lakinya tidak. Sehingga di wanita akan merasa capek sendiri, atau juga sebaliknya. Lalu, perlukah orang ketiga untuk mendamaikan permasalahan remaja?
            Terkadang, remaja memiliki ambisi pribadi untuk mempertanggungkan hasil perbuatannya dan akan mudah tersinggung bila orang lain ikut campur dalam kehidupannya. Bahkan orangtua terkadang hanya bisa geleng kepala, melihat tingkat remaja yang tidak mempan diberi nasihat dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, orang ketiga yang diharapkan mampu mendamaikan persoalan rumah tangga remaja, tidak selalu orangtua, tetapi orang yang dituakan. Artinya, pihak ketiga itu bisa saja saudara, teman, paman ataupun kerabat lainnya.
Pernah kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sbb.

  1. Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1)    menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
2)    mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut. Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.


2.    Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.

3.    Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

4.    Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

5. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).

Resiko kesehatan pernikahan dini
 
Resiko kesehatan terutama terjadi pada pasangan wanita pada saat mengalami kehamilan dan persalnan. Kehamilan mempunyai dampak negative terhadap kesejahteraan seorang remaja. Sebenarnya ia belum siap mental untuk hamil, namun karena keadaan ia terpaksa, menerima kehamilan resiko tinggi.
Berikut ini  beberepa resiko tinggi kehamilan dan persalinan yang dapat di alami oleh remaja (usia kurang dari 20 tahun):
1.    Kurang darah (Anemi) pada masa kehamilan dangan akibat yang buruk bagi janin yang di kandungnya seperti pertumbuhan janin yang terlambat, kelahiran premature(tidak cukup bulan). 2
2.    Kurang gizi pada masa kehamilan yang dapat mengakibatkan perkembangan biologois dan kecerdasan janin terhambat. Bayi lahir dengan berat badan rendah.
3.     Penyulit pada saat melahirkan seperti perdarahan dan persalinan lama.
4.    Keracunan kehamilan, yang di tandai bengkak teruta,ma di kaki dan tangan serta tekanan darah tinggi. Bila ini tidak mendapat pengobatan yang baik dan benar, maka keadaan ini dapat menimbulkan kejang-kejang yang pada gilirannya dapat membawa maut baik pada bayi maupun ibunya.
5.    Ketidakseimbangan besar bayi dengan lebar panggul. Biasanya ini akan menyebabkan macetnya persalinan. Bila tidak diakhiri dengan operasi Caesar maka keadaan ini akan menyebabkan kematian ibu maupun janinya.
6.    Pasangan yang kurang siap untuk menerima kehamilan cenderung untuk mencoba melakukan pengguguran kandungan (Aborsi) yang dapat berakibat kematian bagi wanita .
7.    Karena kurang pengetahuan dan perawatan kesehatan reproduksi, pernikahan dini beresiko tinggi untuk tertular penyakit menular seksual, seperti keputihan yang tidak normal, kencing sakit dll.
8.    Kemungkinan terjadinya kanker serviks (kanker dari leher Rahim wanita) pada perkawinan usia muda lebih besar dari pada mereka yang kawin pada usia kira-kira dua kali lipat untuk mendapatkan kanker di bandingkan dengan wanita yang menikah pada umur yang lebih tua.
9.    Resiko kematian ibu dan janin pada saat persalinan 2-4 kali lebih tinggi dari persalinan wanita usia 20 sampai 35 tahun.
10. Anak-anak yang di lahirkan oleh ibu remaja mengalami beberapa masalah antara lain: Perkembangan yang terhambat, premature (berat badan lahir rendah). Hal ini selanjutnya akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental anak.

Dewasa ini banyak sekali remaja yang sudah terjerumus dalam jurang kesesatan. Akan tetapi, mereka hampir tidak mempedulikanya. Memang benar, hal yang paling menakutkan bagi remaja dalam pergaulan bebas mereka adalah masalah kehamilan dan penyakit menular. Sehingga, saat pacaran mereka begitu selektif dan ketat supaya tidak terjadi apa yang disebut dengan kehamilan atau tertular penyakit seksual. Tapi teman remaja lupa, bahwa akar masalahnya justru aktivitas pacarannya itu. Coba, dua insan berlainan jenis yang sedang dimabuk asmara, pasti menginginkan untuk selalu bersama. Apabila rumahnya jauh, mereka hanya memencet angka di HP-nya saja. Lalu tertawa melepas kerinduan, bahkan tak heran mereka membicarakan hal-hal tentang pergaulan mereka. Dan bila ada kesempatan, langsung membuat janji untuk bertemu. Pada akhirnya, jangan harap kamu bisa mengendalikan diri.
Sebelum beranjak ke faktor-faktor, sebaiknya menjelaskan apa arti dari pacaran itu sendiri. Pada hakikatnya pacaran tidak diperbolehkan di agama. Selain itu, pacaran mendekati zina.
Tuduh-menuduh atau tuding-menuding tentang siapa yang harus bertanggung-jawab, boleh-boleh saja. Namun ingat, kita harus teliti dan jangan asal tuduh. Tapi yang pasti, pacaran sudah menjadi gaya hidup remaja. Benar, sepertinya kalau tidak melakukan itu takut dianggap kuno. Maka jangan heran bila semua media massa memberikan gambaran yang dibutuhkan dan harus dijalani kaum remaja, dan pacaran adalah salah satunya Perlu diketahui, bahwa anak gadis di sana, pada usia 17 diberikan kebebasan oleh ortunya untuk bergaul dengan teman pria mereka dengan sesuka mereka. Yang penting jangan mengkonsumsi narkoba atau berbuat kriminal.
Dengan begitu, angka seks bebas di negara yang emang membiarkan terjadi begitu terbukti tinggi. Sebagai contoh, dari data yang didapat PBB mengatakan bahwa lebih dari 80% siswa SMU di Cina pernah melakukan hubungan seks bebas. Celakanya lagi, mereka menganggap bahwa hal itu adalah hal yang biasa. Malah ada yang menyetujui hubungan itu. Menurut hasil survei PBB ada 30,4% yang setuju dengan seks bebas dan 47,8% yang berpikir hal itu bisa dimaklumi.
Itu bisa terjadi bila hubungan antara dua lawan jenis ini begitu dekat dan lengket. Sebab, tidak mungkin terjadi hal itu bila hubungannya terjaga dengan benar dan baik. Sementara dalam pacaran, kamu tahu sendiri bagaimana aktivitasnya? Liar! Begitulah gambaran perbuatan yang mendekati dengan perzinaan. Dan sudah jelas bahwa aktivtas zina itu adalah haram. Firman Allah Swt:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isrâ [17]: 32
Nikah dipersulit, gaul bebas dipermudah. Seringkali manusia suka terbalik dalam menilai suatu perbuatan. Sebab, yang jadi patokan mereka dalam berbuat cuma mengandalkan perasaan dan tidak mau menggunakan akalnya. akhirnya, sering dibuat pusing oleh keputusannya sendiri. Dalam masalah pergaulan bebas, masyarakat suka menilai bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan hanya dilihat dari apakah perbuatan itu menguntungkan baginya secara materi atau tidak. Itu salah besar. Sebab, yang kita anggap baik, belum tentu baik dalam pandangan Allah. Dan begitupun sebaliknya. Firman Allah Swt:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS al-Baqarah [2]: 216).
Ini memang aneh, nikah yang memang ada syariatnya dipersulit, tapi gaul bebas dipermudah. Buktinya, sarana untuk gaul bebas terus diciptakan dan dipermudah aksesnya. Kalau dipikir secara logis ibadah yang ingin kita lakukan dipersulit tapi, kalau mau mejalankan maksiat selalu dipermudah. Kalau untuk nikah saja kita harus mengurus beragam administrasi. Selain itu kita masih dihadang dengan peraturan pemerintah yang membatasi usia pernikahan dalam UU Perkawinan.
Itu termasuk kendala eksternal. Selain itu, memang ada juga kendala internal, yakni belum siap mental dan belum punya biaya. Inilah dilema bagi remaja. Maka jangan heran bila kemudian jalan keluar bagi remaja untuk menyalurkan naluri yang tidak tertahankan itu mereka memilih melakukan seks bebas. Sehingga, makin menambah keyakinannya bahwa MBA adalah jalan terbaik bila saat pacaran mereka kebablasan. Bukan tak mungkin pula bila kemudian ada remaja yang nekat menghamili pacarnya bila hubungan mereka tak direstui oleh ortunya. Dan ini sebagai bukti bahwa ternyata nikah dipersulit kecuali kalau “kecelakaan”.
Kendala internal insyaAllah masih bisa dicari jalan keluarnya. Tapi kalau sudah kendala eksternal itu sulit. karena melibatkan komponen yang lebih rumit dan sulit diajak kompromi.
Inilah salah satu produk kapitalisme, yang memang membolehkan setiap individu untuk berbuat sesukanya, sebab semuanya dijamin dengan kebebasan bertingkah laku yang ada dalam peraturan HAM. Inilah rusaknya sistem demokrasi.
Dalam ajaran agama kita telah diatur dengan jelas, bagaimana seharusnya kita bersikap dan bertingkah laku. Tentu supaya kita selamat di dunia dan di akhirat. Jadi sebetulnya, nikah dalam usia dini lebih baik dari pada MBA. Nikah ibadah, gaul bebas maksiat. Namun, bila kita masih belum mampu ke arah sana. Lebih baik hindari pacaran, seringlah berpuasa, dan fokus belajar
Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda:
1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:
a.    Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga
b.    Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c.    Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
a.    Masalah ekonomi keluarga
b.    Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c.    Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).
d)    Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
c. Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

4.    Hukum Pernikahan Dini

Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua.
Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di bawah umur. Sehingga Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu daerah tertentu meskipun Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu. Di Indonesia pernikahan dini berkisar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan usia muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Tasikmalaya sendiri khususnya di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalya yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda berjumlah lebih dari 15 orang.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.

5.    Pandangan Islam Tentang Pernikahan Dini     
Islam telah menganjurkan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW “wahai pemuda siapa saja diantara kalian telah mampu memikul beban, hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukkan pandangan mata dan menjaga kehormatan. Sebaliknya barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena hal itu dapat menjadi perisai
Berdasarkan riwayat yang dituturkan oleh Al-Hasan yang bersumber dari samurah Nabi SAW telah melarang hidup membujang.Al-Qur’an juga membawa ayat-ayat yang jelas mengenai anjuran untuk melangsungkan pernikahan.Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa[4] :3  yang artinya “nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat”.
Dengan demikian, sebenarnya dalam islam tidak ada batasan tentang usia dimana seorang harus menikah, tetapi yang ditekankan adalah kesiapan untuk membina rumah tangga, kesiapan disini dari segi ilmu, mental, dan ekonomi. Jadi pernikahan dini dalam Islam boleh-boleh saja,bahkan sangat dianjurkan agar menjaga pandangan mata dan kehormatan


Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini
Dampak positif
a.    Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
b.    Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi menjadi lebih menghemat.
c.    Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional.
d.    Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.
e.    Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

Dampak negative      
a.    Dari segi pendidikan: Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
b.    Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita yang ada didalam masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.
c.    Dari segi kesehatan: Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk  kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma.
Dari segi psikologi: Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

B.   SINGEL PARENT
a)    Definisi Single Parents
Single parent adalah seorang ayah atau seorang ibu yang memikul tugasnya sendiri sebagai kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga. Orang tua tunggal atau biasa disebut dengan istilah single parent adalah orang tua yang hanya terdiri dari satu orang saja, dimana didalam rumah tangga ia berperan sebagai ibu dan juga berperan sebagai ayah. Saat ini keluarga orang tua tunggal memiliki serangkaian masalah khusus. Hal ini disebabkan karena hanya ada satu orang tua yang membesarkan anak. Bila diukur dengan angka mungkin lebih sedikit sifat positif yang ada dalam diri suatu keluarga dengan satu orang tua dibandingkan dengan keluarga dengan orang tua tunggal. Orang tua tunggal ini menjadi lebih penting bagi anak dan perkembangannya karena orang tua tunggal ini tidak mempunyai pasangan untuk saling menopang.
Pilihan untuk menjadi orang tua tunggal adalah pilhan yang sangat berat, walaupun demikian daripada aborsi dan menambah beban dosa, mereka lebih ikhlas menjadi oarng tua tunggal. Untuk iini mereka juga harus siap menerima reaksi dari orang tua, keluarga dan dikucilkan entah untuk sementara atau untuk selamanya. Belum lagi menjadi gunjingan maupun dicibirkan oleh teman, tetangga maupun rekan kerja. Untuk menjalani semua itu dibutuhkan kekuatan hati dan daya juang yang tinggi, termasuk mengikis perasaan dendam kepada silelaki notabene ayah dari anaknya sendiri. Sedangkan bagi perempuan yang sudah menikah siap atau tidak predikat janda dengan anak yang disandangnya. Untuk menjadi orang tua tunggal itu tidaklah mudah.

b)    Penyebab Orang Tua Tunggal

Ada dua jenis kategori orang tua tunggal yaitu yang sama sekali tidak pernah menikah dan sempat atau pernah menikah. Mereka menjadi orang tua tunggal bisa saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih awal oleh pasangan hidupnya, ataupun akibat perceraian atau bisa juga ditinggal oleh sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, dan kebanyakan terjadi dikalangan remaja yang terlibat dalam pergaulan bebas. Penyebab single parent antara lain :
• Perceraian
• Kematian
• Kehamilan diluar nikah
• Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi anak orang lain (majalah ayah bunda)
Seorang ibu dapat menjadi orang tua tunggal mungkin karena kematian suaminya atau perceraian, dan beberapa ibu tentu tidak pernah menikah lagi, termasuk mereka yang memilih memlih menjadi ibu tunggal. Saat ini percerraian menjadi cara yang umum untuk menjadi orang tua tunggal. Ibu yang bercerai lebih banyak mengalami kesulitan dalam masalah kekuasaan dan kedisiplinan. Beberapa ibu menjelaskan tentang beratnya mengemban tugas tersebut. Para ibu ini mulai terpaksa mulai bekerja diluar rumah untuk pertama kalinya guna memenuhi kebutuhan keuangan keluarganya dengan gaji pertama yang tidak begitu banyak. Beberapa diantaranya juga tidak dapat lagi menggantungkan kebutuhan keuangan dan emosonalnya kemantan suaminya.
George Levinger mengambil 600 sampel pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian dan mereka paling sedikit mempunyai satu orang anak di bawah usia 14 tahun. Levinger menyusun sejumlah kategori keluhan yang diajukan, yaitu:
1.    pasangannya sering mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan;
2.    masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan rumah tangga);
3.    adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;
4.    pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan;
5.    tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;
6.    sering mabuk dan judi;
7.    ketidakcocokan dalam melaksanakan hubungan seksual;
8.    keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;
9.    kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya;
10. berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan di antara pasangan;
11. tuntutan yang dianggap berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu “menguasai”; (melalui Ihromi, 2004; 155)

c)    Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi
Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal seringkali terlalu dibebani dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak memliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa memikirkan dirinya sendiri karena terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun dampak terhadap tarhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.
Banyak ibu tunggal saat ini belum pernah menikah. Peningkatan jumlah perempuan menghabiskan 20-an mereka membangun diri dalam karir mereka dan tidak serius keinginan anak-anak sampai mereka mencapai usia 30-an. Pada saat itu mereka mungkin merasa bahwa jika mereka menunggu sampai mereka bertemu jodoh yang cocok, mungkin terlalu terlambat untuk melahirkan anak. Ide memiliki anak di luar perkawinan juga menjadi lebih luas diterima oleh wanita yang lebih muda.
Beberapa wanita yang memilih untuk ibu tanpa perkawinan memilih untuk menjadi hamil dengan cara inseminasi buatan. Tetapi banyak menemukan bahwa beberapa dokter tidak mau artifisial membuahi seorang wanita yang belum menikah. Beberapa yang memilih inseminasi buatan benar-benar tidak ingin menjadi emosional terlibat dengan ayah dari anak dan merasa ini akan dihindari jika mereka tahu dia. Lainnya, terutama perempuan lesbian, memilih inseminasi buatan hanya karena tidak memerlukan hubungan pribadi dengan pasangan laki-laki. Yang lain ingin membesarkan anak sendiri dan takut bahwa jika mereka tahu ayah, ia kemudian bisa membuat klaim pada anak.
Beberapa wanita yang menginginkan anak tanpa menikah memilih mitra yang bersedia untuk ayah anak dengan tanpa pamrih. Lain setuju ayah diakui akan terlibat dalam kehidupan anak walaupun orang tua tidak akan menikah.
Apapun pilihan mereka, bagaimanapun, ibu-ibu ini bebas untuk membesarkan anak-anak mereka sesuai dengan ide-ide mereka sendiri dan nilai-nilai, dan mereka menuai banyak manfaat orangtua. Di sisi lain, mereka melakukan tanggung jawab yang berat dan risiko kesepian pengasuhan tanpa mitra dengan siapa untuk berbagi baik beban dan waktu yang baik. Untuk alasan ini, dukungan kelompok untuk ibu tunggal tersebut telah mulai musim semi up-setidaknya di beberapa kota besar (dan juga di Internet).

d)    Peran Seks dalam Perkawinan
Seks memegang peran penting dalam sebuah perkawinan. Pasangan suami-istri membutuhkan seks sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka dan sarana untuk menghasilkan generasi baru. Berdasarkan berbagai survei di Amerika, % dari perceraian yang terjadi diberikan kepada wanita. Fenomena ini menggambarkan konsep/paradigma wanita dalam memandang arti perkawinan yang lebih besar bagi mereka dari pada laki-laki, ketergantungan mereka dan kepuasan untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan itu sendiri (Goode, 2004; 196). Sebaliknya, terdapat satu pengembangan penelitian yang menemukan bahwa para suami lebih sering melakukan perceraian. Argumentasinya adalah hampir semua waktu, energi dan tenaga suami dihabiskan di luar rumahnya. Kesempatan atau keadaan demikian membuka peluang kepada suami untuk terlibat dalam tingkah laku yang rentan terhadap keharmonisan keluarganya. Suami boleh saja menjalin banyak persahabatan dengan lawan jenisnya. Akibatnya, terjadi jarak atau kurangnya keterikatan kepada rumahnya sebagaimana halnya, istrinya, dan lebih banyak kemungkinan untuk memperoleh kegembiraan hiburan, dan juga kesibukan di luar rumah. (Goode, 2004: 197).
Goode lebih lanjut menjelaskan bahwa norma-norma persamaan hak modern, kelakuan sang suami itu mungkin membuat sang istri tidak bahagia. Sementara, bagi sang suami, istrinya tidak mempunyai banyak kekuasaan/otoritas untuk mengendalikan atau memaksanya agar mengikuti kemauannya. Sang istri pada permulaan, sedikit kemungkinan menginginkan perceraian, sedangkan sang suami kemungkinan merasa bersalah untuk menuntut hal itu. Hasilnya ialah bahwa laki-laki mungkin mengembangkan pola tingkah laku yang menimbulkan celaan, kutukan dan pelecehan bagi sang istri sebagai bagian dari memuncaknya pertengkaran antar keduanya yaitu membuat dirinya tidak disukai, ia menimbulkan dalam diri istrinya (dengan sengaja atau tidak) keinginan untuk memutuskan hubungan perkawinan (2004; 197).

e)    Dampak Perceraian terhadap Mantan Pasangan Suami – Istri
Menurut Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship) (melalui Ihromi, 2004:156).
Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau mantan istri (melalui Karim, 2004:156).
Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam menilai perceraian itu sebagai sesuatu yang “tidak patut” (melalui Karim, 2004:157).
Waller menilai pasca perceraian sebagai masa yang kurang dan hilang dalam kehidupan pasangan suami-istri yang bercerai. Seseorang pada masa ini dilanda perasaan “ambivalen” antara melihat perceraian sebagai sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan dan munculnya rasa sedih mengenang kebersamaan pada masa-masa indah dulu (melalui Karim, 2004:157). Sementara, Scanzoni dan Scanzoni (lewat Karim) menilai setelah perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu menghampiri kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan rasa benci dan ketidaksenangan hidup bersama lagi (melalui 2004:157).
Terdapat dua hal utama yang menjadi fokus pengamatan Goode terhadap pasangan suami istri yang bercerai yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan sosial di mana mereka bukan lagi sebagai pasangan suami istri serta peran sebagai suami atau istri dan memperoleh peran baru (2004: 165)
Mel Krantzler (lewat Ihromi 2004), seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian merupakan sebuah masa transisi yang penuh kesedihan. Masa penuh kesedihan atau kedukaan apabila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat. Apabila masyarakat memandang perceraian sebagai sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses penyatuan kembali, seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi karena perceraian.
Perceraian antara pasangan suami-istri menghasilkan dampak lain yaitu masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship), (Goode lewat Ihromi, 2005: 156)
Scanzoni and Scanzoni kemudian membuat sintesa atas konsep-konsep pemikiran Krantzler (lewat Ihroni 2004: 157) dalam tulisan “creative Divorce”. Menurut Kranztler perceraian memberikan peluang kepada seseorang untuk memperoleh pengalaman-pengalaman serta kreativitas baru guna mengisi kehidupan menjadi lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya. Krantzler berpendapat bahwa perceraian tidak harus diartikan sebagai kegagalan yang membawa kesedihan bagi seseorang. Untuk menguatkan pandangannya, ia mengutip tulisan Herman Hesse (penulis puisi dan novel) yang pernah mengalami perceraian sebanyak dua kali yaitu “Be ready bravely and without remorse to fin now light that old ties cannot give’”
Scanzoni and Scanzoni (lewat Ihroni 2004) mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama pasangannya. Scanzoni dan Scanzoni kembali mendengarkan, mantan pasangan suami istri seyogyanya menyadari bawah “kebersamaan” dan saling ketergantungan diantara mereka telah berakhir.

f)     Masalah orang tua tunggal
Masalah utama bagi orang tua tunggal khususnya bagi wanita yaitu pada masalah ekonomi, dan bagi pria mereka lebih cenderuung mengalami kesulitan menjadi seorang ibu, yang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bagi wanita yang bersatatus ibu tunggal, yang diakibatkan oleh pergaulan bebas ataupun karena korban perkosaan, mereka cenderung sulit menerima kehadiran anaknya, belum siap menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah berstatus ibu, cibiran tetangga, dan masalah-masalah yang timbul selanjutnya yang beerhubungan dengan status anaknya, bahkan mungkin pertanyaan anaknya yang ingin mengetahui dimana ayah mereka. Hl inilah yang membuat sebagian besar wanita mengalami depresi yang menyandang sebagai ibu tunggal. Namun tidak semua pula para ibu tunggal yang berfikiran seperti itu, misalnya salah satu selebriti papan atas yang mengaku siap menjadi orang tua tunggal, dan siap menerima segala konsekuensinya sebagai ibu tunggal dan baginya ia menikmati perannya sebagai ibu walaupun tanpa adanya sesosok ayah untuk anaknya.

g)    Penaggulangan orang tua tunggal
Orang tua tunggal bisa tetap bahagia menjalani hidup ini dengan tetap menggunakan pendekatan yang positif. Dengan menjadikan hsl-hsl ysng positif dalam hidup menjadi pemicunya, maka kebahagiaan tersebut juga bisa didapatkan. Barikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua tunggal agar tetap bisa bahagia :
o   Focus pada anak-anak. Jika anak-anak adalah pusat kehidupan anda, dengan sendirinya anak-anak tersebuta akan menhetahui dan merespons apapun yang terjadi pada diri orang tuanya.
o   Mengenal diri sendiri. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengenal diri sendiri dan merasa nyaman dengan kesendirian tinggalkan segala pikiran yang negative tentang kesendidrian dan berlatihlah untuk merasa cukup nyaman dengan diri sendiri.
o   Libatkan anak-anak dalam mencerminkan peran orang tua yag hilang. Dalam hal ini bukan berarti harus menemukan pengganti dari seorang ibu atau ayah, tapi bisa dengan membuata anak dekat dengan paman, bibi atau kakek dan nenek untuk mengisi kekosongan salah satu orang tua.
o   Biarkan anak-anak tahu bahwa dirinya dapat melengkapkan hidup anda. Jika anda percaya bahwa anda tetap bisa bertahan tanpa seorang laki-laki atau seorang perempuan disamping anda maka anak-anakpun akan mempercayai itu. Karena anak adalah cerminan oleh apa yang dirasakan oleh orang tuanya.
o   Memahami bahwa anda tidak bisa menjadi segalanya bagi anak-anak. Dengan memahami hal tersebut akan membuat merasa tidak terlalu tertekan namun bukan berarti anak-anak tidak bisa kasih saying yang sempurna. Kasih saying bisa didapatkan dari saudara atau orang-orang terdekat anda.

h)   Dampak Single Parent Dikaitkan Dengan Fungsi Keluarga :
• Fungsi seksual dan reproduksi
• Fungsi sosialisasi
• Fungsi ekonomi
• Fungsi budaya
• Fungsi edukasi
• Fungsi agama
• Fungsi perlindungan

i)     Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent
1.    Keterbukaan
Menyandang status single parent (janda/duda) sebenarnya bukanlah suatu hal yang harus ditutup-tutupi. Ketika masyarakat menilai status itu dengan prasangka negatif, sebagian orang justru bisa menunjukan bahwa menjadi single parent justru bukan sesuatu yang buruk.
2.    Mengisi waktu
Sebagai manusia biasa, kehilangan pasangan hidup bisa menimbulkan rasa kesepian, rasa kesendirian yang mendalam biasanya muncul ketika dia sedang dilanda masalah.
3.    Membuka diri untuk masa depan
Berbagi cerita dengan orang-orang yang bernasib sama adalah salah satu terapi yang bisa dilakukan untuk mengurangi tekanan psikologis. Kegiatan ini juga dilakukan oleh mereka yang tidak siap menjalani statusnya sebagai single parent (janda/duda). Melalui komunitas berbagi ini mereka dapat membuka diri untuk pergaulan meski tetap masih memilih-milih teman.
Adapun hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Single Parent Berkaitan Dengan Anaknya, antaralain :
o   Selain berharap ayah dan ibunya berumur panjang, anak-anak mengharapkan kedua orang tuanya itu senantiasa hadir ditengah-tengah mereka
o   Terjadinya kesepahaman antara suami dan isteri dalam berbagai hal yang berhungan dengan kehidupan pribadi dapat berpengaruh pada diri anak
o   Terdapatnya sistem dan aturan yang sama dalam membina rumah tangga dan mendidik anak bukan berarti meniadakan sistem dan aturan yang lain
o   Tersedianya berbagai perlengkapan rumah tangga tentunya untuk kehidupan yang wajar dan tidak bermegah-megahan
o   Adanya rasa kasih sayang yang bersumber dari keyakinan dan keimanan, inilah yang akan mempersatukan suami dan isteri dengan anggota keluarga yang lain

j)     Dilema anak
Selain berbagi kiat cara menghadapi stigma sosial, komunitas tersebut juga dapat saling memberikan masukan tentang bagaimana menjadi orang tua tunggal, untuk selalu terbuka dengan anaknya dalam berbagai masalah. Dampak bagi mental Anak
o   Ketidakhadiran ayah bagi anak perempuan tidak memberi dampak yang besar dibandingkan dengan ketidakhadiran ayah pada anak laki-laki.
o   Jangan mengevaluasi anak dengan kata-kata yang negatif sehingga anak-anak kehilangan kepercayaan diri
o   Libatkan dia dengan lingkungan keluarga yang memiliki anak laki-laki dan izinkan dia untuk mengambil keputusan atas nama dan untuk dirinya sendiri

k)    Dampak Single Parent Bagi Perkembangan Anak
o   Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kurang dapat berinteraksi dengan lingkungan, menjadi minder dan menarik diri
o   Pada anak single parent dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi tidak seimbang sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu
o   Single parent kurang dapat menanamkan adat istiadat dan murung dalam keluarga, sehingga anak kurang dapat bersopan santun dan tidak meneruskan budaya keluarga, serta mengakibatkan kenakalan karena adanya ketidakselarasan dalam keluarga
o   Dibidang pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan anak kurang sempurna dan tidak optimal
o   Dasar pendidikan agama pada anak single parent biasanya kurang sehingga anak jauh dari nilai agama
o   Single parent kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain, dan bila dalam jangka waktu lama, maka akan menimbulkan kecemasan pada anak atau gangguan psikologis yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak
6 Karakter Dalam Keluarga Single Parent Yang Prima
a.    Adanya kualitas waktu yang dihabiskan bersama dalam anggota keluarga.
b.    Memberikan perhatian lebih, termasuk dalam hal-hal kecil, seperti meninggalkan pesan yang melukiskan perhatian dari orang tua
c.    Keluarga yang prima adalah keluarga yang saling komitmen satu sama lainnya
d.    Menghormati satu sama lain, contohnya : dengan mengucapkan atau mengekspresikan rasa sayang kepada anak-anak, mengucapkan terima kasih pada saat anak-anak selesai melakukan tugas yang diberikan
e.    Kemampuan berkomunikasi penting dalam membangun keluarga yang prima
f.     Kondisi krisis dan stress dianggap sebagai tahapan kesempatan untuk terus berkembang

  Ciri Keluarga Single Parent yang Berhasil
a)    Menerima tantangan yang ada selaku single parent dan berusaha melakukan dengan sebaik-baiknya.
b)    Pengasuhan anak merupakan prioritas utama.
c)    Disiplin diterapkan secara konsisten dan demokratis, orang tua tidak kaku dan tidak longgar.
d)    Menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pengungkapan perasaan.
e)    Mengakui kebutuhan untuk melindungi anak-anaknya.
f)     Membangun dan memelihara tradisi dan ritual dalam keluarga.
g)    Percaya diri selaku orang tua dan independent.
h)   Berwawasan luas dan beretika positif.
i)     Mampu mengelola waktu dan kegiatan keluarga.
Penanganan Single Parent
a)    Memberikan Kegiatan Yang Positif.
Berbagai macam kegiatan yang dapat mendukung anakk untuk lebih bias mengaktualisasi diri secara positif antara lain dengan penyaluran hobi, kursus sehingga menghindari anak melakukan hal-hal negative.
b)    Memberi Peluang Anak Belajar Berperilaku Baik
Bertandang pada keluarga lain yang harmonis memberikan kesempatan bagi anak untuk meneladani figure orang tua yang tidak di peroleh dalam lingkungan keluarga sendiri
c)    Dukungan Komunitas.
Bergabung dalam club sesame keluarga dengan orang tua tunggal dapat memberikan dukungan karena anak mempunyai banyak teman yang bernasib sama sehingga tidak merasa sendirian.
Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single Parent
1)      Pencegahan terjadinya kehamilan di luar nikah.
2)    perceraian dengan mempersiapkan perkawinan dengan baik dalam segi psikologis , keuangan, spiritual.
3)       Menjaga komunikasi dengan berbagai sarana teknologi informasi.
4)      Menciptakan kebersamaan antar anggota keluarga.
5)      Peningkatan spiritual dalam keluarga.

l)     Pentingnya Konseling Agar Dapat :
o   Menyesuaikan diri terhadap lingkungan
o   Penerimaan ibu dan anak dalam lingkaran keluarga
o   Masuk dalam lingkungan keluarga/masyarakat secara wajar
o   Upaya menyatukan kembali keluarga, bagi keluarga mereka yang ditelantarkan suami/ayah


BAB III
PENUTUP

a.   kesimpulan
Perkawinan adalah ikatan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk  keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa
Pernikahan didi berisikoyang tinggi untuk mengalami kegagalan berupa ketidak bahagiaan maupun perceraiaan,. Kehamilan pada pernikahan dini perlu di cegah, dengan mengikuti keluarga berencana. Bila terjadi kehamilan maka perlu pemeriksaan kehamilan secara teraturs sehingga dapat dilakukan pertolongan yang tepat.
Orang tua (ayah & ibu) remaja berperan sangat penting untuk mencegah terjadinya pernikahan dini anak-anak mereka.
Secara umum single parents berdampak pada tidak berjalannya fungsi keluarga, yang antara lain :
• Fungsi seksual dan reproduksi
• Fungsi sosialisasi
• Fungsi ekonomi
• Fungsi budaya
• Fungsi edukasi
• Fungsi agama
• Fungsi perlindungan
Dalam hal kesehatan reproduksi, single parents berdampak pada kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.

                                         

b.    Saran
            Wahai kaum hawa marilah kita bersama-sama menjaga kesehatan reproduksi kita dengan cara menghindari perkawinan di usia muda, sebab nikah muda dapat menimbulkan berbagai problema dalam hidup kita kelak, mulai dari kesehatan reproduksi, dampak social, dampak terhadap fisik, dan tentunya akan berdampak pada keturunan kita.
            Hindarilah pergaulan bebas, yang akan menimbulkan kehamilan, sebab jika telah terjadi hal demikian maka pernikahan dini tidak akan terelakkkan lagi, dan pernikahan yang di sebabkan kehamilan terlebih dahulu itu berarti pernikahan secara terpaksa karena adanya janin yang harus di pertanggung jawabkan, akibatnya masa depan keluarga yang di idamkan tidak akan tercapai, salah satu dampak bagi pernikahan dini adalah perceraian hingga adanya single parent, yang kebanyakan wanitalah yang mendapat beban terberat dalam hidupnya sebab harus menjadi ibu rumah tangga sekaligus tulang punggung keluarga, mencari nafkah untuk anak-anaknya.
Semua ini berawal dari diri kita sendiri sadarilah sesungguhnya apa yang engkau sukai belum tentu Allah menyukainya dan apa yang engkau tidak sukai sesungguhnya Allah sangat menyukainya.







DAFTAR PUSTAKA

Yanti, M.keb,(2011)kesehatan reproduksi.yogyakarta:pustaka rihama
Widyastuti yani dkk,(2009).Kesehatan reproduksi.yogyakarta:fitramaya
arifin andryansya.(2003).Pembinaaan kesehatan reproduksi remaja.surabaya: yayasan mulia abadi.
Glasier anna, gebbie ailsa.(2006)keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.jakarta:penerbit buku kedokteran EGC


1 komentar:

  1. Saat ini S128Cash sudah menjadi salah satu Bandar Judi Online Teraman dan Terpopuler diseluruh kalangan masyarakat Indonesia, karena Situs ini sendiri sudah mendapatkan Lisensi Resmi dari pusat perjudian Internasional didunia.
    Berbagai macam permainan yang sedang Populer tersedia disini, yaitu Sportsbook, Live Casino, Sabung Ayam Online, IDN Poker, Slot Games Online, Tembak Ikan Online dan Klik4D.

    S128Cash juga menyediakan berbagai PROMO BONUS yang sangat menarik untuk member Tercintanya, seperti :
    - BONUS NEW MEMBER 10%
    - BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
    - BONUS CASHBACK 10%
    - BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!

    Ayo, segera bergabung dan raih kemenangan Anda bersama kami.
    Hubungi kami :
    - Livechat : Live Chat Judi Online
    - WhatsApp : 081910053031

    Link Alternatif :
    - http://www.s128cash.biz

    Judi Bola

    Situs Judi Bola Online Terpercaya

    BalasHapus