Tugas : Kesehatan Reproduksi
Dosen : Aisyah, SKM
KONSEP GENDER
Di Susun
Oleh :
Kelompok 1
Arianti Ramlah
Fitriani Rusma
Mariyanti.K Wulandari
Nur Indah Sari
Rahim Fitriani.S
Nurliana Rahmat
Akademi Kebidanan Syeck Yusuf Gowa
Tahun 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi suatu
negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan komponen pokok dalam
pembinaan landasan pengembangan sosial budaya. Pendidikan juga sekaligus
penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari
kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk kesejahteraan manusia dunia-akhirat
sehingga perlu diaplikasikan (QS. 28:77) sebab pendidikan memiliki nilai
teologis dan sosiologis sekaligus.
Karenanya,
proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup manusia. Hal ini
harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki dan perempuan tanpa
pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk belajar. Semakin lama,
setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh
karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling membantu, bekerja sama meniti
jalan dan mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi.
Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang
sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor,
seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat sampai pada masalah
menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor
penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum
setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi
ketidakadilan seperti intepretasi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala
sosial budaya lainnya. Bahkan proses dan
institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan
melestarikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai
ketimpangan gender dalam masyarakat.
Dalam dekade
terakhir ini, upaya penyadaran gender menjadi perbincangan serius di kalangan
aktivis perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia pendidikan maupun
kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan
agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi
kunci. Dari sinilah kami akan mencoba memberikan
sedikit penjelasan mengenai kesetaraan gender dalam bidang pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian gender?
2. Bagaimana bias gender dalam pendidikan?
3. Bagaimana kesetaraan gender dalam
pendidikan?
4. Bagaimanakah upaya penanggulangan dampak
negatif dari bias gender pendidikan dalam islam?
5. Bagaimanakah pandangan terhadap perkembangan gender?
6. Apakah perbedaan Seks dan Gender?
C. Tujuan Penulisan
Dengan adanya penulisan makalah pendidikan dan
kesetaraan gender ini diharapkan mahasiswa sebagai calon pendidik dan anggota
masyarakat mampu menganalisis tentang kesetaraan gender dalam perspektif
pendidikan, sehingga mempunyai wawasan yang luas dan menambah peran aktif dalam
menciptakan pendidikan dengan setara bagi semua orang yang terlibat di
dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
GENDER
Hal penting yang perlu dilakukan dalam
kajian gender adalah memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam
memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau
sulit bisa menerima analisis gender dalam memcahkan masalah ketidakadilan
sosial.
Seks adalah
perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan
merupakan kodrat Tuhan. Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang
merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis
ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar.
Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja.
Sedangkan gender, secara
etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin
. Tetapi Gender merupakan
perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan
kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui
proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita,
selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu
proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat
ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat.
Dalam batas perbedaan yang paling
sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan
gender sebagai status yang diterima atau diperoleh.
Mufidah dalam Paradigma Gender mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor
yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi
melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan
mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender
merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara
laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam
melakukan measure (pengukuran)
terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan
pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.
Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada
laki-laki.. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi
termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih
ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih
oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang
pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka
berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
B.
BIAS
GENDER DALAM PENDIDIKAN
Yang dimaksud bias gender adalah mengunggulkan salah satu jenis
kelamin dalam kehidupan sosial atau kebijakan publik. Bias gender dalam
pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin
tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan gender.
Berbagai bentuk
kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat,
terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan institusi
pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan
nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan
gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam
pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain:
1. Kurangnya partisipasi (under-participation). Dalam hal partisipasi pendidikan,perempuan di
seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan jenisnya,
partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah Dinegara-negara
dunia ketiga di mana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan
umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki
2. Kurangnya keterwakilan (under-representation).
Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan
juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada
jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki.
Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut
menunjukkan penurunan drastis.
3. Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment) Kegiatan pembelajaran
dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan.
Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih
besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para guru kadangkala
cenderung berpikir ke arah "self fulfilling prophecy" terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu
memperoleh pendidikan yang tinggi.
Menurut Philip Robinson, ketimpangan dalam pendidikan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu ketimpangan pada akses terhadap pendidikan dan
ketimpangan pada hasil atau outcome pendidikan.
Akses perempuan ke sekolah lanjutan atas dan
perguruan tinggi masih terbatas. Di Indonesia dalam penelitian yang dilakukan
oleh Ace Suryadi, berdasarkan angka statistik kesejahteraan rakyat dari Biro
Pusat Statistik pada tahun 2000/2001 penduduk perempuan yang berpendidikan SD
sudah mencapai 33,4% yang bahkan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki
lulusan SD 32,5%. Perempuan yang berpendidikan SLTP 13% sedikit lebih rendah
dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15%. Penduduk perempuan
yang berpendidikan SMA adalah 11,4% atau lebih rendah dari laki-laki yang
berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%. Sementara itu, penduduk perempuan
berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1% yang masih lebih rendah dari penduduk
laki-laki yang berpendidikan sarjana 3,2%. Factor yang menghambat akses perempuan
terhadap pendidikan tingkat atas dan tinggi adalah jumlah sekolah yang
terbatas, dan jarak tempuh yang jauh diduga lebih membatasi anak perempuan untuk bersekolah
dibandingkan laki-laki. Perkawinan dini juga diduga menjadi sebab mengapa
perempuan tidak melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi.
Laporan departemen pendidikan yang
penyusunannya dibiayai UNICEF, juga menjelaskan bahwa kondisi pendidikan di
Indonesia sangat memprihatinkan, khususnya bagi anak perempuan yang ingin
melanjutkan pendidikan kesekolah menengah, atau mereka yang berasal dari
keluarga miskin dan tinggal di pedesaan.
Selain itu juga ditemukan gejala
pemisahan gender dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk
diskriminasi gender secara sukarela ke dalam bidang keahlian. Pemilihan jurusan
– jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik, sementara
itu anak laki-laki diharapkan berperan dalam menopang keonomi keluarga sehingga
harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan
industri. Penjurusan pada pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi
menunjukkan masih terdapatnya stereotype dalam sistem pendidikan di Indonesia
yang mengakibatkan tidak
berkembangnya pola persaingan sehat
menurut gender. Sebagai contoh, bidang
ilmu sosial pada umumnya didominasi siswa perempuan, sementara bidang ilmu
teknis umumnya didominasi siswa laki-laki. Pada tahun ajaran 2000/2001, persentase siswa perempuan yang
bersekolah di SMK program studi teknologi industri baru mencapai 18,5 persen,
program studi pertanian dan kehutanan 29,7 persen.
Sedangkan ketimpangan pada hasil
pendidikan adalah perbedaan akhir pendidikan. Ketimpangan pada hasil pendidikan
menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada prestasi
pendidikan. Prestasi di antara mereka tidak sepadan. Prestasi laki-laki lebih
tinggi atau lebih baik daripada perempuan.
Ketimpangan akses pendidikan dapat
berdampak pada feminisasi dalam pendidikan. Ketidaksamaan kesempatan dalam
pendidikan antara laki-laki dan perempuan akan berdampak pada kecenderungan
melihat bahwa perempuan hanya bisa diterima pada sistem pendidikan tertentu. Di
masyarakat berkembang sikap bahwa perempuan hanya cocok pada jenis pendidikan
tertentu dan tidak pantas memilih sistem pendidikan lainnya.
Dengan rendahnya tingkat pendidikan
penduduk yang berjenis kelamin perempuan maka, secara otomatis perempuan belum
berperan secara maksimal. Pencanangan wajib belajar pada usia 6 tahun pada
tahun 1984 dan program wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994, belum memberikan
hasil yang signifikan terhadap perempuan.
Terjadinya pengingkaran dan diskriminasi
terhadap hak-hak perempuan seperti yang digambarkan di atas, menurut Masdar F.
Mus’udi pangkal mulanya adalah disebabkan oleh adanya pelebelan sifat-sifat
tertentu pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan. Misalnya perempuan itu
lemah, lebih emosional ketimbang nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak
patut hidup selain di dalam rumah tangga, dll. Setidaknya ada empat persoalan
yang menimpa perempuan akibat adanya pelebelan ini. Pertama, melalui proses
subordinasi (meletakkan perempuan di bawah supremasi lelaki), perempuan
harus tunduk kepada sesame manusia, yakni kaumlelak. Pemimpin atau imam hanya
pantas dipantas dipegang oleh laki-laki, perempuan hanya bolehh menjadi makmum
saja. Kedua, perempuan cenderung dimarginalkan, diletakkan di pinggir. Ketiga,
karena kedudukannya yang lemah, perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan
oleh kaum laki-laki. Keempat, perempuan hanya menerima beban pekerjaan
yang jauh lebih berat dan lebih lama daripada yang dipukul kaum laki-laki.
Secara khusus
faktor penyebab bias gender dalam Pendidikan adalah:
1. Perbedaan angkatan
partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan,
sehingga perbedaan itu menjadi semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah
lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur karena
fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif merata. Faktor-faktor struktural
itu di antaranya adalah nilai-nilai sosial budaya, dan ekonomi keluarga yang
lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting dibandingkan
dengan perempuan. Faktor ini berlaku terutama di daerah-daerah terpencil yang
jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang
mendahulukan pendidikan untuk anak laki-laki.
2. Pada tingkat SLTP/Tsanawiyah dan
SMU/Madrasah Aliyah perbedaan angka partisipasi menurut gender lebih banyak
terjadi pada daerah-daerah yang masih kekurangan fasilitas pendidikan, terutama
di daerah-daerah pedesaan dan luar Jawa. Faktor penyebab bias gender pada
tingkat SLTP ke atas relatif lebih kecil dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial
budaya dan ekonomi keluarga karena siswa dan mahasiswa yang datang dari
keluarga sosial ekonomi tinggi sudah lebih besar proporsinya. Dengan demikian,
pengadaan dan distribusi sumber-sumber pendidikan SLTP, SLTA dan Perguruan
Tinggi masih menjadi faktor penting untuk mengurangi bias gender dalam
pendidikan.
3. Partisipasi perempuan dalam proses
pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah karena akses perempuan juga
masih dirasakan rendah dalam menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang
kebijakan. Proporsi kepada sekolah perempuan secara konsisten masih kecil
dibandingkan dengan laki-laki pada setiap jenjang pendidikan. Perempuan
pemegang jabatan struktural, dari tingkatan strategis sampai operasional jauh
lebih rendah daripada lawan jenisnya. Oleh karena itu, banyak kebijakan
pendidikan kurang sensitif gender, yang akan berdampak luas terhadap berbagai
dimensi bias gender dalam bidang pendidikan.
4. Laki-laki lebih dominan dalam
mempengaruhi isi kurikulum sehingga proses pembelajaran cenderung bias
laki-laki (male bias). Fenomena ini dapat diamati dari buku-buku
pelajaran yang sebagian besar penulisnya adalah laki-laki. Penulis buku
laki-laki sangat dominan.
5. Isi buku pelajaran yang membahas status perempuan
dalam masyarakat akan banyak memberikan pengaruh terhadap kesenjangan gender
dalam proses pendidikan. Muatan dari sebagian bukubuku pelajaran (khususnya
IPS, PPKN, Pendidikan Jasmani, Bahasa dan Sastra Indonesia, Kesenian dan
sejenisnya) yang berhasil diamati cenderung kurang berwawasan gender khususnya
berkaitan dengan konsep keluarga atau peran perempuan dalam keluarga yang telah
lama dipengaruhi oleh cara berpikir tradisional, bahwa laki-laki adalah
pemegang fungsi produksi sedangkan perempuan memegang fungsi reproduksi.
6. Faktor kesenjangan antar gender dalam pendidikan jauh lebih
dominan laki-laki. Khususnya dalam lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan
sebagai pemegang kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan
akademis kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak
mempengaruhi pendidikan. Keadaan ini akan semaik bertambah parah jika para
pemikir atau pemegang kebijaksanaan pendidikan tersebut tidak memiliki
sensivitas gender.
7. Khusus pada kebijaksanaan pendidikan, khususnya menyangkut
sistem seleksi dalam pendidikan. Kontrol dalam penerimaan karyawan terutama
disektor swasta sangat dirasakan bias gender. Kenyataan menunjukkan bahwa jika
suami istri berada dalam salah satu perusahaan, misalnya Bank, baik ilik pemerintah
maupun swasta, maka salah satunya memilih untuk keluar dan biasanya
perempuanlah yang memilih keluar dari pekerjaan. Ini bagian dari faktor-faktor
bias gender dalam pendidikan.
8. Faktor struktural yakni yang menyangkut nilai, sikap,
pandangan dan perilaku masyarakat yang secara dominan mempengaruhi keputusan
keluarga untuk memilih jurusan-jurusan yang lebih dianggap cocok untuk
perempuan, seperti pekerjaan perawat, kesehatan, teknologi kerumahtanggaan,
psikologi, guru sekolah, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena perempuan
dianggapnya memiliki fungsi-fungsi produksi. Laki-laki dianggap berperan
sebagai fungsi penopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih
keahlian-keahlian ilmu teknologi dan industri.
Faktor lain yang turut mempengaruhi bias gender dalam
pendidikan adalah muncul persaingan dengan teknologi yang menggantikan peranan
pekerja perempuan dengan mesin. Dampaknya, lagi-lagi perempuan menjadi korban
teknologi khususnya perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah ditambah pula
dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah.
C.
KESETARAAN
GENDER DALAM PENDIDIKAN
Keadilan dan kesetaraan adalah
gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai
kesejahteraan, membangun keharmonisan
kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan
merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang
lebih berkualitas. Kesetaraan Gender, Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan pertahanan & keamanan nasional (hankamnas)
serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender
suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis tidak
bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya,
hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu. Dengan keadilan
gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender, ditandai dengan tidak adanya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses,
kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat
yang setara dan adil dari pembangunan.
Dasar
Persamaan Pendidikan
Dasar persamaan
pendidikan menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan
sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman
Djojonegoro menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan
kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat
ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam kerangka
ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan dasar.
Sebab, manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak.
Apabila ada sebagian anggota masyarakat, sebodoh apapun yang tersingkir dari
kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi
kemanusiaan yang setiap saat harus diperjuangkan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud
dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan,
antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak
perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah
lebih tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk
sekolah. Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab
mereka akan segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak
membantu orang tua dalam pekerjaan rumah. Pendirian seperti ini melanggar etika
Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam
menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara yang
kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan
sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan
untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu segala macam
jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.
Dengan demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata
pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan
hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga
masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan
dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar-merupakan
langkah awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan
tuntutan zaman yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan
yang kokoh, mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan
luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir,
mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada
hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi
dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga
diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan
minatnya.
Ungkapan Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari
kondisi riil historisitas kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali
dirugikan oleh perilaku sosialnya. Seperti gadis-gadis harus putus sekolah
karena diskriminasi gender (sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau
karena keterbatasan ekonomi anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau
potensinya tidak lebih tinggi daripada anak perempuan.
D.
UPAYA PENANGGULANGAN DAMPAK NEGATIF
DARI BIAS GENDER PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Ibu
sebagai Pusat Pendidikan
Untuk mengembalikan nilai kerakyatan
dan kemanusiaan pendidikan, Athiyah berpendapat bahwa pendidikan harus
dipusatkan pada ibu. Apabila perempuan terdidik dengan baik, niscaya pemerataan
pendidikan telah mencapai sasaran. Sebab, ibu adalah pendidik pertama dan utama
dalam keluarga. Minim sekali orang yang terlepas dari jangkauan ibunya. Ibu
adalah sekolah bagi rakyat tanpa mengenal lelah, ekonomi, waktu dan dilakkukan
penuh kasih sayang. Padahal inti demokrasi tertinggi adalah saat keterbukaan,
kerelaan dan persaudaraan telah mencapai tingkat kasih sayang. Peran ini adalah
pendidikan nonformal yang biasa dilakkukan perempuan di rumah.
Presiden Tanzania, Nyerere pernah
mengatakan, “Jika anda mendidik seorang laki-laki, berarti anda telah mendidik
seorang person, tetapi jika anda mendidik seluruh orang perempuan berarti anda
telah mendidik seluruh anggota keluarga.” Kondisi tersebut tidak bisa diperoleh
lewat pendidikan yang meninggalkan nilai persamaan dan kemanusiaan.
Sering dipahami bahwa perempuan
didominasi perasaan daripada rasio. Karenanya mereka cenderung sensitive,
berbeda dengan laki-laki yang lebih rasional karena yang dominan dalam dirinya
adalah rasio sehingga perempuan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi yang
melibatkan rasio tersebut. Sebenarnya, kondisi yang sering disalah tafsirkan
ini dari sisi kemanusiaan malah menunjukkan sebaliknya, yaitu perempuan memliki
beberapa kelebihan diantaranya adalah lebih berperannya hati. Padahal, hati
merupakan penentu nilai baik-buruk individu. Mereka yang dekat dengan alam,
tekun dan teliti. Banyak bidang-bidnag yang membutuhkan kelebihan-kelebihan
tersebut.
Di samping itu, dengan hati nurani juga
seseorang membongkar kemunafikan. Bila hati nurani jernih dan bersih, pasti
sesuai dan sama dengan hati nurani bangsa serta rakyat secara keseluruhan.
Memang, perempuan cenderung emosional dan sensitive. Karenanya, dengan hati dan
kesensitivannya mereka mendapatkan firasat-firasat keibuan yang membuatnya
menjadi peka dan memiliki intuisi tajam akan apa yang ada di permukaan dan
kasih sayang. Hal inilah yang menjadi inti dari nilai kemanusiaan.
Pusat pendidikan pada ibu, dapat memberi
kepekaan diatas sebagaimana kata Rukmini, “Ibulah yang pertama kali tekun
mendidik saya untuk memahami dunia dan kehidupan ini sebagai keutuhan sistem.
Beliau selalu mengajak saya bangun pada malam hari melihat bintang dan
menjelaskan soal jagad gede dan kaitannya dengan jagad cilik.
Dari beliau saya bisa belajar mengenai bagaimana memahami keberadaan hidup ini
dengan cara pandang yang taembus ruang dan waktu.”Dengan kasih sayangnya
Rukmini melakukan pembelaan terhadap siapa yang lemah dan tertindas. Kepedulian
seperti itu tak akan dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki hati nurani.
Upaya
lain untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam yang dapat dilakukan
sebagai berikut:
1.
Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang bias gender dilakukan
secaa kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing
hitam untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
2.
Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki
dan perempuan, demikian pula kurikulum local dengan berbasis kesetaraan,
keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan
tipologi daerah yang dimulai dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
3.
Pemberdayaan kaum perempuan di sector pendidikan informal seperti
pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat
kabupaten disusaikan dengan kebutuhan daerah.
4.
Pemberdayaan disector ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga
terutama dalam kegiatan industry rumah tangga. Dengan demikian akan
menghilangkan ketergantungan ekonomi kepada laki-laki karena salah satu
terjadinya marginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga
kepada laki-laki.
5.
Pendidikan politik bagi perempuan agar dilakukan secara intensif untuk
menghilangkan melek politik bagi perempuan. Karena masih ada anggapan bahwa
politik itu hanya miliki laki-laki dan politik itu adalah kekerasan, padahal
sebaliknya politik adalah seni untuk mecapai kekuasaan. Dengan demikian kuota
30% sesuai dengan amanah Undang-Undang segera terpenuhi, mengingat pemilih
terbanyak adalah perempuan.
6.
Pemberdayaan disektor keterampilan, baik keterampilan untuk kebutuhan
rumah tangga maupun yang memiliki nilai jual ditingkatan, terutama kaum
perempuan di pedasaan agar terjadi keseimbangan antara perempuan yang tinggal
di perkotaan dengan pedesaan sama-sama memiliki keterampilan yang relative
bagus.
7.
Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga lebih intens
dilakukan agar kaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan
sesuai dengan amahan dari UUK.
E.
PANDANGAN TERHADAP PERKEMBANGAN GENDER
Ada beragam cara
untuk memandang perkembangan gender. Beberapa
diantaranya lebih menitikberatkan pada factor-faktor dalam perilaku pria dan
wanita, sedangkan yang lainnya menekankan pada factor social atau kognitif
(Lippa, 2002)
Pandangan biologis
tentang Gender
Pasangan kromosom
ke-23 dalam diri manusia merupakan penentu apakah janin ini akan jadi wanita
ataukah pria. Tak ada yang menyangkal adanya perbedaan genetic, biokimia, dan
anatomi antarjenis kelamin. Bahkan pakar gender yang menganut
pandanganenvironmental juga mengakui bahwa gadis dan jejaka diperlakukan secara
berbeda karena perbedaan fisik dan peran mereka dalam proses reproduksi. Isunya
di sini adalah pengaruh langsung dan tidak langsung dari factor biologis dan
lingkungan. Misalnya, androgen adalah hormone seks dominan dalam diri pria.
Jika level androgen yang tinggi berpengaruh langsung terhadap fungsi otak, yang
pada gilirannya meningkatkan beberapa perilaku seperti agresi atau menaikkan
level aktivitas, maka efek biologi ini bersifat langsung. Jika level androgen
yang tinggi dalam diri anak menghasilkan otot kuat, yang pada gilirannya
menyebabkan orang lain berharap agar anak itu menjadi atlet, dan kemudian
menyebabkan anak mendalami olahraga, maka efek biologis pada perilaku itu
bersifat tidak langsung. Beberapa pendekatan biologis membahas perbedaan dalam
otak pria dan wanita (Eisenberg, Martin, & Fabes, 1996).
Pandangan
sosialisasi. Baik itu teori psikoanalitik maupun kognitif
social mendeskripsikan pengalaman social yang memengaruhi perkembangan gender
anak.
- Teori psikoanalitik gender berasal dari pandangan Sigmund Freud bahwa anak-anak prasekolah mengembangkan ketertarikan sesual kepada orangtuanya yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya. Kemudian, sekitar umur lima atau enam tahun, anak mengurangi ketertarikan ini karena perasaan gelisah. Selanjutnya anak mengidentifikasi dirinya dengan orangtua yang jenis kelaminnya sama dengan dirinya, dan secara tak sadar mengadopsi karakter orang tua yang sama jenis kelaminnya dengan dirinya. Dewasa ini, kebanyakan pakar gender tidak percaya bahwa perkembangan gender melalui tahapan ini. Anak menjadi “sadar gender” sejak sebelum berumur lima tahun. Juga, pria biasanya menjadi maskulin dan wanita menjadi feminine bahkan ketika tidak ada orang tua yang berjenis kelamin sama di dekatnya.
- Teori kognitif social gender menekankan bahwa perkembangan gender anak terjadi melalui pengamatan dan peniruan perilaku gender, dan melalui penguatan dan hukuman terhadap perilaku gender. Orang tua biasanya memberikan hadiah dan hukuman untuk mengajari keturunannya agar menjadi feminine atau maskulin.
Banyak orang tua
mendorong anak gadis dan lelakinya untuk melakukan jenis permainan dan
aktivitas yang berbeda (Lott & Maluso, 2001). Anak wanita sering diberi
boneka dan, ketika sudah cukup umur, diberi tugas menjaga bayi. Anak perempuan
didorong untuk lebih bersifat mengasuh ketimbang anak lelaki. Ayah lebih sering
ikut dalam permainan yang agresif dengan anak lelakinya ketimbang dengan anak
perempuannya. Orangtua mengizinkan putra remajanya untuk lebih bebas ketimbang
putrid remajanya.
Pandangan kognitif. Dua pandangan kognitif terhadap gender adalah (1) teori
perkembangan kognitif; dan (2) teori skema gender.
- Menurut teori perkembangan kognitif, tipe gender anak terjadi setelah mereka mengembangkan konsep gender. Setelah mereka secara konsisten menganggap diri mereka sebagai lelaki atau wanita, anak akan menata dunianya berdasarkan gender. Teori ini pada mulanya dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg (1996). Teori ini berpendapat bahwa perkembangan bahwa perkembangan gender melalui cara sebagai berikut: “saya gadis, saya ingin melakukan hal-hal yang dilakukan gadis. Karena itu, kesempatan melakukan kegiatan gadis sangatlah menyenangkan.’ Kohlberg percaya anak baru memahami gender secara konstan setelah mencapai tahap pemikiran operasional konkret Piaget, yakni pada usia sekitar tujuh thaun mereka sudah tahu bahwa lelaki adalah lelaki, tidak peduli entah dia mengenakan celana atau rok atau apakah rambutnya panjang atau pendek (Tavris & Wade, 1984)
- Teori skema gender menyatakan bahwa perhatian dan perilaku individu dituntun oleh motivasi internal untuk menyesuaikan dengan standar sosiokultural berbasis gender dan sterotip gender (Martin & Dinella, 2001). Skema gender adalah struktur kognitif, atau jaringan asosiasi, yang menata dan menuntun persepsi individu berdasarkan gender. Teori skema gender mengatakan bahwa “gender typing” terjadi ketika anak siap untuk memahami dan menata informasi berdasarkan apa yang dianggapnya sebagai tepat bagi pria dan wanita dalam suatu masyarakat (Rodgers, 2000)
F. PERBEDAAN SEKS DAN GENDER
Gender berada dengan jenis
kelamin (seks). Seks adalah pembagian jenis kelamin yang secara biologis dan
melekat pada jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, konsep jenis kelamin
digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsure biologis
dan anatomi tubuh (Tuttle, Lisa, Ensyclopedia of Feminism, 1986).
Misalnya, laki-laki memiliki penis, testis, jakun, memproduksi sperma dan
cir-ciri biologis lainnya yang berbeda dengan biologis perempuan. Sementara
perempuan mempunyai alat reproduksi seperti rahim, dan saluran-saluran untuk
melahirkan, memproduksi telur (indung telur), vagina, mempunyai payudara dan
air susu dan alat biologis perempuan lainnya sehingga bias haid, hamil dan
menyusui atau yang disebut dengan fungsi reproduksi.
Gender adalah konsep hubungan
social yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
Pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan
karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan
menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan. Heyzer (1981:14) memberi defenisi gender sebagai
berikut: gender merupakan bentukan setelah kelahiran yang dikembangkan dan
diinternalisasikan oleh orang-orang di lingkungan mereka.
Dengan demikian gender
sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia, dibentuk
oleh masyarakat sehingga gender bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan
adapt istiadat, budaya, agama dan system nilai dari bangsa, masyarakat, dan
suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan
sejarah, perubahan politik, ekonomi dan social budaya atau karena kemajuan pembangunan.
Denga demikian gender tidak bersifat universal atau tidak berlaku secara umum
akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak terjadi
kerancuan dan pemutarbalikkan makna tentang apa yang disebut jenis kelamin
(seks) dan gender.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah di uraikan, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :
1). Gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual atau jenis kelamin pada manusia.
2). Masalah Gender Dalam Perilaku Sosial Budaya Masayarakat meliputi:
a. Ketidak adilan gender Marjinalisasi atau Pemiskinan
b. Subordinasi atau penomorduaan
c. Sikap negatif masyarakat terhadap perempuan
d. Isu gender Dalam hukum Adat
e. Isu Jender Dalam Perundang-Undangan
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. 1996. Analisis
Gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Muchtar, Yati. 2001. Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru. Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14.
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta.
Soekito, Sri Widoyatiwiratmo. 1989. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. LP3ES: Jakarta.
Undang-Undang Dasar. 1945. Apollo: Surabaya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gender
Muchtar, Yati. 2001. Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru. Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14.
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta.
Soekito, Sri Widoyatiwiratmo. 1989. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. LP3ES: Jakarta.
Undang-Undang Dasar. 1945. Apollo: Surabaya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gender
Saat ini S128Cash sudah menjadi salah satu Bandar Judi Online Teraman dan Terpopuler diseluruh kalangan masyarakat Indonesia, karena Situs ini sendiri sudah mendapatkan Lisensi Resmi dari pusat perjudian Internasional didunia.
BalasHapusBerbagai macam permainan yang sedang Populer tersedia disini, yaitu Sportsbook, Live Casino, Sabung Ayam Online, IDN Poker, Slot Games Online, Tembak Ikan Online dan Klik4D.
S128Cash juga menyediakan berbagai PROMO BONUS yang sangat menarik untuk member Tercintanya, seperti :
- BONUS NEW MEMBER 10%
- BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
- BONUS CASHBACK 10%
- BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!
Ayo, segera bergabung dan raih kemenangan Anda bersama kami.
Hubungi kami :
- Livechat : Live Chat Judi Online
- WhatsApp : 081910053031
Link Alternatif :
- http://www.s128cash.biz
Judi Bola
Situs Judi Bola Online Terpercaya
Borgata Hotel Casino & Spa | Mandara St. Thomas, MN
BalasHapusLocated in the heart of Midway, Borgata Hotel Casino 상주 출장마사지 & Spa is a five-minute walk from 의왕 출장샵 Twin Cities Mall and 1.5 아산 출장샵 mi from Minneapolis-St. Paul International Airport. Rating: 4 김제 출장샵 · 1 review · Price range: 밀양 출장안마 0